Kalau kamu pikir Jakarta sekarang macet dan panas, tunggu sampai kamu dengar cerita soal Peristiwa Malari (1974). Ini bukan cuma kerusuhan biasa. Ini adalah momen sejarah yang bikin politisi ketar-ketir, mahasiswa turun ke jalan, dan harga bensin nggak jadi masalah paling besar hari itu.
Apa Sih Peristiwa Malari Itu?
Peristiwa Malari atau yang lengkapnya “Malapetaka Lima Belas Januari” terjadi pada tanggal 15 Januari 1974 di Jakarta. Bukan tanggal yang diinget buat diskon Harbolnas, tapi jadi hari yang diingat sebagai puncak keresahan publik terhadap campur tangan asing dan ketimpangan sosial.
Jadi gini, saat itu Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, datang ke Indonesia. Nah, kedatangan beliau malah bikin Jakarta panas—secara harfiah dan metaforis. Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas berdemo. Tuntutannya? Nolak investasi asing yang katanya lebih nguntungin pengusaha asing daripada rakyat Indonesia sendiri.
Latar Belakang Gejolak Mahasiswa
Waktu itu, pembangunan memang lagi kenceng-kencengnya. Tapi masalahnya, kok yang kaya makin kaya, yang miskin makin ngenes? Mahasiswa jadi wakil rakyat nggak resmi yang lantang bersuara. Ada keresahan soal nepotisme, korupsi, dan dominasi modal asing di ekonomi nasional.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, “Peristiwa Malari adalah ledakan dari akumulasi ketidakpuasan yang selama ini tertahan.”
Bahkan ada istilah waktu itu: ekonomi dikuasai oleh segelintir konglomerat. Dan ini bikin sebagian besar masyarakat merasa jadi penonton di negeri sendiri.
Demonstrasi yang Jadi Amukan Massa
Awalnya, demonstrasi berlangsung damai. Tapi ya namanya demo di jalan, kadang ada yang rusuh. Keadaan makin parah ketika provokator masuk dan mulai melempari batu, membakar mobil, dan menjarah toko-toko milik warga keturunan Tionghoa. Sayangnya, kerusuhan itu memakan korban jiwa dan kerugian materi yang besar.
Pemerintah Kaget dan Ketar-Ketir
Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto langsung ambil langkah keras. Mahasiswa ditangkap, media dibredel, dan intel makin rajin nguping di warung kopi. Bahkan Jenderal Sumitro, Wakil Panglima ABRI waktu itu, dituding nggak becus dan akhirnya mengundurkan diri.
“Ini titik kritis dalam hubungan antara kekuasaan dan masyarakat sipil,” ujar Prof. Dr. Salim Said, pengamat politik.
Imbas ke Media dan Kebebasan Bersuara
Peristiwa ini jadi pelajaran keras buat media. Banyak surat kabar dibredel karena memberitakan kerusuhan secara gamblang. Jadi, jangan heran kalau sejak saat itu media mulai pilih-pilih kata, bahkan mungkin lebih jago sensor daripada Lembaga Sensor Film.
Bahkan majalah Tempo yang terkenal kritis sempat kena semprit. Era ini bikin banyak jurnalis belajar menulis “antara baris” dan menyisipkan kritik secara halus.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Peristiwa Malari?
Ya tentu banyak. Tapi yang paling penting adalah: jangan cuek. Ketika suara rakyat dibungkam, saat itulah demokrasi mulai batuk-batuk. Peristiwa Malari (1974) menunjukkan bahwa rakyat Indonesia, terutama mahasiswa, nggak takut bersuara. Mereka ingin keadilan, pemerataan, dan kedaulatan ekonomi.
Di sisi lain, pemerintah juga akhirnya belajar (meskipun agak telat) bahwa transparansi dan pemerataan pembangunan itu penting. Bukan cuma soal angka di laporan ekonomi, tapi juga soal rasa keadilan sosial.
Malari dan Isu Rasisme
Sayangnya, dalam kerusuhan itu, banyak toko milik etnis Tionghoa yang jadi korban. Ini nunjukin bahwa isu sosial dan ekonomi bisa dengan cepat berubah jadi konflik SARA kalau nggak ditangani dengan bijak. Dan ini jadi PR kita bersama sampai sekarang.
Apakah Malari Masih Relevan Hari Ini?
Jawabannya: iya banget! Coba deh lihat kondisi sekarang. Masih banyak isu soal keadilan sosial, investasi asing, dan ketimpangan ekonomi. Bedanya, sekarang protesnya lebih sering di Twitter daripada di jalan (walau demo offline juga masih ada, tenang aja).
Menurut ekonom Faisal Basri, “Perlu ada keberpihakan nyata dalam kebijakan ekonomi, agar pembangunan benar-benar merata dan tidak menimbulkan keresahan publik seperti dulu.”
Generasi Z, Kamu Harus Tahu!
Kalau kamu Gen Z yang lebih sering tahu gosip artis daripada sejarah, yuk sesekali baca yang begini. Peristiwa Malari itu nggak kalah panas dari skandal artis Korea. Ini cerita tentang keberanian, idealisme, dan semangat perubahan.
Dengan tahu sejarah, kamu nggak gampang dibohongi. Kamu juga jadi tahu bahwa perubahan itu butuh keberanian dan solidaritas, bukan cuma hastag dan story di Instagram.
Kesimpulan: Jangan Lupakan Malari
Peristiwa Malari (1974) bukan sekadar catatan di buku sejarah. Ini adalah momen krusial yang mengguncang fondasi kekuasaan. Kita belajar bahwa keberanian rakyat, suara mahasiswa, dan kritik terhadap kekuasaan adalah bagian penting dari demokrasi.
Jadi, sebelum kamu ngetik “Indonesia nggak maju-maju amat sih?”, ingatlah bahwa banyak orang dulu sudah berjuang keras. Tinggal kita sekarang: mau cuek, atau mau ikut jadi bagian dari perubahan?
Karena sejarah bukan untuk dihafal, tapi untuk dipahami. Dan Malari, salah satu kisah yang wajib kamu ingat, supaya kita nggak jatuh ke lubang yang sama.