Oke, kita mulai dari sini. Lo pernah denger soal Kerusuhan Mei ’98 (1998)? Kalau belum, wah, sini gue ceritain, tapi dengan cara yang nggak bikin kepala lo cenat-cenut kayak baca buku sejarah zaman SMA. Ini kisah ketika Jakarta (dan beberapa kota lain) panas bukan karena cuaca, tapi karena rakyat udah nyampe titik didih. Bayangin pressure cooker yang lupa dimatiin. Boom! Begitulah rasanya Indonesia waktu itu.
Apa Itu Kerusuhan Mei ’98? Spoiler: Bukan Cuma Soal Harga Mi Instan Naik
Lo pikir demo mahasiswa cuma soal idealisme dan yel-yel di kampus? Nope. Kerusuhan Mei ’98 (1998) adalah titik kulminasi dari campuran antara krisis ekonomi, pemerintahan yang udah expired, dan rakyat yang udah nggak bisa diajak sabar lagi. Hasilnya? Toko dijarah, gedung dibakar, dan suasana penuh ketakutan di mana-mana. Gimana bisa sampai segila itu?
“Itu adalah momen ketika rakyat kehilangan kepercayaan pada sistem, dan sistemnya… ya, emang udah waktunya pensiun,” kata Dr. Ariel Heryanto, pakar budaya dan politik dari Monash University.
Latar Belakang: Saat Ekonomi Jatuh Bebas Kayak Mainan dari Lantai 10
Krisis Moneter Asia 1997: Awal dari Segalanya
Ceritanya begini. Di tahun 1997, badai ekonomi melanda Asia. Mulai dari Thailand, Korea Selatan, sampai akhirnya mampir juga ke Indonesia. Nilai rupiah jeblok dari Rp 2.000 per USD jadi hampir Rp 17.000! Buset, itu bukan turun, itu tenggelam.
Harga kebutuhan pokok naik kayak roket. Telur? Mahal. Beras? Sulit. Sabar? Habis.
Pemerintahan Soeharto: Sudah Tak Relevan?
Saat itu, Soeharto sudah memimpin hampir 32 tahun. Iya, bro, tiga dekade lebih. Gaya kepemimpinannya sentralistik dan top-down. Tapi ketika rakyat udah susah makan dan pengangguran meningkat tajam, semua kelebihan Orde Baru jadi kayak cerita masa lalu yang udah nggak bisa dipakai buat bayar tagihan listrik.
Meledaknya Emosi: Titik Didih Masyarakat
Mahasiswa Turun ke Jalan
Mahasiswa dari seluruh penjuru negeri mulai demo, dari Yogyakarta, Bandung, Surabaya, sampai Jakarta. Mereka bawa satu pesan jelas: Turunkan Soeharto! Tapi tentu saja, pemerintah saat itu nggak tinggal diam. Gas air mata mulai jadi bumbu harian di kampus.
Tapi semakin ditekan, semakin keras suara mahasiswa.
Tragedi Trisakti: Titik Balik
Tanggal 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak saat unjuk rasa damai. Namanya? Elang, Heri, Hafidin, dan Hendriawan. Mereka jadi simbol perlawanan. Masyarakat yang sebelumnya diam mulai bereaksi. Dan dari sinilah Kerusuhan Mei ’98 (1998) beneran meledak.
Kerusuhan Nasional: Jakarta Memerah, Rakyat Mengamuk
Penjarahan dan Pembakaran
Kota-kota besar—terutama Jakarta—seketika berubah jadi medan perang. Supermarket dijarah. Mal dibakar. Gedung kantor dihancurkan. Masyarakat miskin yang selama ini diam, akhirnya ikut “ambil bagian”, karena memang udah nggak tahan hidup dalam tekanan.
“Saya cuma ambil mie instan, Pak. Anak saya sudah dua hari nggak makan,” kata seorang ibu dalam wawancara TVRI tahun itu.
Ini bukan cuma kerusuhan. Ini adalah luapan kemarahan kolektif dari rakyat yang terlalu lama dipendam.
Isu SARA: Luka yang Belum Kering
Yang paling menyedihkan dari Kerusuhan Mei ’98 (1998) adalah kekerasan bermotif rasial yang menimpa warga Tionghoa. Banyak dari mereka jadi korban penjarahan, kekerasan fisik, bahkan pelecehan seksual.
Sampai sekarang, banyak kasus belum diungkap sepenuhnya. Sebagian besar pelakunya belum diadili. Ini luka sejarah yang masih bikin perih kalau dibuka.
Soeharto Mundur: Momen “Resign” Terbesar dalam Sejarah RI
Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden. Setelah hampir 32 tahun memimpin, beliau menyerahkan tongkat estafet ke BJ Habibie. Kata orang-orang, itu adalah siaran TVRI paling ditunggu sejak tayangan Dunia Dalam Berita.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini,” – Soeharto, 21 Mei 1998.
Dan seketika, Indonesia memasuki era baru: Reformasi.
Efek Domino dari Kerusuhan Mei ’98: Gak Cuma Politik, Tapi Sosial dan Budaya
Reformasi dan Kebebasan Pers
Setelah Soeharto turun, banyak hal berubah. Pers jadi lebih bebas, partai politik tumbuh kayak jamur di musim hujan, dan rakyat mulai bisa mengkritik pemerintah tanpa takut diseret intel. Zaman Orba? Mikir doang udah bisa diciduk.
Penegakan HAM: Masih PR Bangsa
Sayangnya, meski sudah dua dekade lebih berlalu, kasus pelanggaran HAM berat seperti pemerkosaan massal Mei 1998 masih belum tuntas. Banyak korban dan keluarganya masih menunggu keadilan yang belum datang juga.
Menurut Komnas HAM, “Pemerintah harus serius dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk tragedi Mei 1998.”
Perspektif Akademisi dan Aktivis: Jangan Lupa, Jangan Bungkam
“Peristiwa ini harus terus diingat, bukan untuk membuka luka, tapi supaya kita tidak mengulang kesalahan yang sama,” kata Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch.
Sejarah memang menyakitkan, tapi melupakan lebih berbahaya. Setiap Mei, para aktivis dan keluarga korban masih memperingati tragedi ini, menyalakan lilin, dan menyuarakan harapan agar negara tidak lagi tutup mata.
Gaya Belajar Sejarah Zaman Now: Bukan Cuma Buku Teks
Dari Film ke Podcast
Kalau lo bosan belajar sejarah dari buku yang hurufnya kecil-kecil, tenang. Sekarang banyak film dokumenter dan podcast yang mengangkat Kerusuhan Mei ’98 (1998) dengan gaya asik. Coba tonton film “The Act of Killing” atau dengerin podcast “Sejarah Kelam Indonesia” di Spotify. Serius, lebih nendang daripada gurumu yang suka typo di papan tulis.
Generasi Z dan Memori Kolektif
Anak muda zaman sekarang punya peran penting menjaga ingatan sejarah. Jangan cuma tahu soal dance TikTok, tapi juga paham kenapa negara ini berubah drastis sejak tahun 1998. Karena sejarah bukan cuma masa lalu, tapi cermin masa depan.
Pelajaran yang Bisa Kita Petik dari Mei ’98: Jangan Anggap Rakyat Remeh!
-
Ketimpangan sosial itu bom waktu. Ketika banyak orang lapar dan tak punya harapan, satu percikan bisa jadi ledakan.
-
Kritik itu perlu. Kalau rakyat nggak boleh bersuara, siap-siap denger suara mereka lewat kerusuhan.
-
Jangan main api dengan isu SARA. Sekali menyulut, susah padam.
-
Keadilan harus ditegakkan. Tanpa itu, sejarah akan terus jadi lingkaran setan.
Penutup: Sejarah Gak Cuma untuk Diingat, Tapi Juga Dijaga
Kerusuhan Mei ’98 (1998) adalah alarm besar bagi bangsa Indonesia. Alarm bahwa kekuasaan tanpa koreksi itu berbahaya. Bahwa rakyat punya batas sabar. Dan bahwa demokrasi adalah hak, bukan hadiah.
Kalau lo baca sampai sini, berarti lo udah mulai ngerti bahwa sejarah itu bukan pelajaran hafalan. Ini cerita nyata. Ini luka yang membentuk bangsa kita.
Jangan lupa cerita ini. Biar gak terulang.